2 orang anak muda menawan tersenyum manis kala saya memusatkan kamera serta memohon mereka buat bergaya. Keduanya berpakaian meriah mirip dengan kostum kesenian Dayakan dan hiasan di topi– lebih tepatnya mahkota– berbentuk ornament bulu warna- warni yang menjulang menghiasinya.
“ 1 2 3… Senyumnya mana? Naah gitu dong!” teriakku sembari membagikan aba- aba.
Ckrek! Ckrek! 2 gambar tersimpan ke dalam kartu memori kameraku.
Saya melanjutkan berkelana demi membingkai aksi serta aktivitas parade drumblek yang ialah rangkaian kemeriahan Festival Kampung Gunung“ Telomoyo Reborn”. Festival ini diadakan bertepatan pada 30/ 11– 2/ 12/ 2018 kemudian, mengambil tempat di suatu dusun berhawa dingin di kaki gunung Telomoyo, tepatnya dusun Dalangan desa Pandean kecamatan Ngablak kabupaten Magelang. Pagelaran festival ini ialah yang awal kali diadakan di mari, dengan sokongan dinas Pariwisata kabupaten Magelang.
Drumblek? Kalian sempat dengar kata ini?
Kata“ Drumblek” memanglah tidak ataupun belum ada di KBBI. Drumblek merupakan kelompok marching band, tetapi perlengkapan musiknya memakai sisa jeriken, drum plastik, ember, kaleng cat besar serta pula kentongan bambu. Sebagian perlengkapan musik semacam snare drum, balera( xylophone) serta pianika masih disertakan bagaikan pendukung melodi.
Kemudian gimana suara musik yang dihasilkan? Bergemuruh, asik serta aman buat didengarkan.
Lagu- lagu yang dibawakannya juga variatif, terdapat lagu- lagu mars perjuangan, lagu nasional apalagi lagu dangdut koplo yang diaransemen dengan baik. jual drumband Meriah serta kaya warna bunyi.
2 orang anak muda menawan yang jadi mayoret ataupun motor penggerak suatu tim drumblek menunjukkan atraksinya. Mereka berlenggak- lenggok sexy, memutar- mutar baton( tongkat mayoret), melemparkannya ke hawa serta menangkapnya kembali. Aksi mereka tidak luput dari incaran para juru foto dikala kegiatan berlangsung, tidak terkecuali kameraku pula padat jadwal memberondong atraksi menarik mayoret. Sedangkan anggota drumblek yang yang lain, padat jadwal memainkan perlengkapan musiknya tiap- tiap. Atraksi ini jadi salah satu yang ditunggu para pemirsa.
Tetabuhan yang gegap gempita memunculkan bunyi gemuruh, konsep bermusik dengan aransemen musik kolosal ini sanggup jadi energi magis untuk khalayak. Hujan rintik sedikit deras turun membasahi, tetapi tidak menyurutkan para pemirsa buat beringsut dari tempatnya. Mereka sangat menikmati suguhan itu. Bisa jadi saja drumblek bukan tontonan baru buat mereka, tetapi memandang parade secara beramai- ramai memiliki keasyikan tertentu. Ditambah terdapatnya stan- stan santapan ataupun arena bermain buat kanak- kanak bisa jadi hiburan keluarga yang murah meriah.
Asal Muasal Serta Kreativitas Tanpa Batas
Kesenian drumblek bermula semenjak tahun 1984, tetapi mulai diperkenalkan awal kali pada tahun 1986 oleh masyarakat Pancuran, Kutowinangun, Tingkir, Kota Salatiga. Ilham yang berawal dari keterbatasan dana demi membeli perlengkapan marching band tampaknya tidak menghalangi kreativitas para seniman kampung ini. Mereka memutar otak serta menggunakan beberapa barang sisa semacam sisa kaleng cat, jeriken plastik sisa minyak goreng, drum oli sisa, bambu sampai pipa paralon demi memuaskan libido mereka membentuk marching band. Nyatanya ilham ini disambut bersemangat kanak- kanak anak muda di kampung Pancuran. Penampilan dini mereka sangat menarik dikala karnaval HUT RI ke 41 tahun 1986. Ini jadi cikal bakal kesenian drumblek yang setelah itu diakui bagaikan marching band tradisional asli Salatiga.
Saya menemui mas Tri, salah seseorang pemimpin serta penggagas salah satu kelompok drumblek. Dia merupakan pelatih dari tim DKN( Drumblek Kreasi Ngesal), suatu tim drumblek dari desa Ngesal, Tuntang, Kabupaten Semarang.
“ Dini mulanya tim DKN ini sebab kampung kami mau berkesenian. Kesenian yang kami angkat ini pastinya berasal dari kota Salatiga, kebetulan yang kami seleksi ialah drumblek,” Mas Tri membuka obrolan.
“ Kenapa memilah drumblek, mas? Kan banyak kesenian yang lain di wilayah sekitaran Salatiga sampai Magelang ini?,” tanyaku penasaran.
“ Drumblek merupakan kesenian khas Salatiga, kebetulan kami pula tinggal sepeminuman teh jauhnya dari kota Salatiga. Kebetulan pula fitur yang diperlukan tidak sulit buat dicari, tidak hanya itu kami pula menggunakan limbah sisa bagaikan perlengkapan musik. Hitung- hitung melestarikan bumi pula, mas.” Mas Tri menarangkan lebih lanjut.
DKN sendiri baru tercipta sebulan saat sebelum kegiatan Festival Kampung Gunung berlangsung. Mereka beranggotakan kanak- kanak pelajar SMP ataupun SMA, terdapat pula yang telah putus sekolah. Anggota yang diboyong buat turut lomba tim drumblek ini tidak kurang dari 20 orang. DKN berlatih seminggu 2x dibimbing oleh Mas Tri serta rekannya. Lagu- lagu kekinian yang dibawakan dikala parade merupakan hasil aransemen bersama- sama.
Drumblek tidaklah kelompok marching band“ kelas coro” lho. Eksistensi mereka pantas diapresiasi besar juga musikalitas yang berkelas. Kendati perlengkapan musiknya didominasi alat- alat sisa, tetapi penampilan mereka tidak luput dari decak kagum. Buktinya, tidak hanya memainkan lagu- lagu pop koplo Via Vallen, mereka pula piawai menunjukkan komposisi musik jazz. Keren kan!
Leave a Reply